Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (4)

Dini semakin merasa cemas. Ayahnya tak beranjak sedikit pun, masih tetap mengarahkan pisaunya ke Bu Rami. Memang tidak untuk menusuk atau melukai ibunya. Meski hanya ditempelkan, tetap saja ngeri menyaksikannya. Dini khawatir jika tiba-tiba saja pengaruh makhluk gaib yang bersarang di tubuh ayahnya menggerakkan ketidaksadaran Pak Tarno untuk menikam neneknya. 

Di tengah ketegangan yang terjadi, Bu Peni tak berpikir lama, segera bergegas menuju rumah mbah Jaya, orang pintar yang selama ini dipercaya untuk menyembuhkan penyakit Pak Tarno. Tak sampai setengah jam, bu Peni sampai ke rumah mbah Jaya, tentu saja dengan membawa sebuah "syarat". Sampai di sana, Bu Peni menceritakan keadaan Pak Tarno. Akhirnya Bu Peni diberi selembar kemeja batik lengan panjang oleh mbah Jaya, untuk dipakaikan kepada pak Tarno. Baju tersebut adalah baju " pusaka" sebagai sarana untuk kesembuhan Pak Tarno. Bu Peni juga disuruh untuk membeli telur ayam kampung, untuk dibalurkan ke tubuh pak Tarno. Usai mendapatkan wejangan dari mbah Jaya, bu Peni pun segera pulang. 

Setiba di rumah, ketegangan sudah mulai mereda. Pak Tarno sudah berhasil melepaskan pisaunya. Sebentar-sebentar ia keluar lalu masuk ke dalam rumah kembali dengan pandangan tajam. Ia kembali mengguyuri sekujur tubuhnya dengan air. Entahlah ... apa yang dirasakannya. Apakah panas menjalari tubuhnya? 

Malam hari itu seisi rumah tak bisa tidur, berjaga-jaga terhadap hal-hal di luar dugaan yang bisa saja terjadi. Pak Tarno sudah tak ingat untuk menutup pintu. Rumah dibiarkan terbuka. Ia tetap sibuk mondar-mandir ke sana ke mari, keluar masuk rumah. 

Pak Tarno tak mengenali anak dan istrinya. "Hormaat grak!, " tiba-tiba Pak Tarno memberi aba-aba kepada dirinya sendiri. Kemudian mendadak tiarap bagai mengintai musuh. Begitu seterusnya siang malam yang dilewati keluarga Dini selama berhari-hari. 

Saat Pak Tarno sejenak beristirahat, dengan keberanian yang ada, Bu Peni berniat membalurkan telur ke tubuh Pak Tarno. Namun mendadak Pak Tarno bangun, "Angkat tangan!" sambil memandang ke arah Bu Peni. Bu Peni kaget luar biasa. Takut kenapa-kenapa, Bu Peni pun spontan mengikuti perintah Pak Tarno. Tak lama Pak Tarno pun tertidur kembali. Kesempatan inilah digunakan Bu Peni  untuk membalurkan telur ke tubuh Pak Tarno, dilanjutkan memakaikan baju batik pemberian mbah Jaya kepada Pak Tarno. 

Beberapa hari setelahnya, sakit Pak Tarno sembuh. Di tengah berbaringnya Pak Tarno karena tubuhnya yang masih terkulai lemas, Dini memberanikan diri untuk bertanya, " Sudah sembuh Pak? " 

Dengan suara lemah pak Tarno menjawab, "Pak'e napa to Nok? " 

"Kemarin Bapak sakit, " jawab Dini menjelaskan. 

"Lara apa? Pak'e kok ra kelingan? "

Dini tak bisa menjawab apa-apa. Bingung mau menjelaskannya. 

***

Hari demi hari berganti seperti biasa. Dini dan keluarganya sedikit merasakan ketenangan. Mereka berharap kejadian seperti ini tak akan terulang kembali. Meskipun mereka belum mengetahui secara pasti penyebab atas sakit yang diderita Pak Tarno. 

Sama seperti waktu tiga tahun yang lalu, pak Tarno akan sembuh kembali setelah seminggu sampai dua minggu. 

Menjelang kesembuhan pak Tarno, pengumuman kelulusan pun tiba. Dan alhamdulillah Dini dinyatakan lulus. 

***

Beberapa bulan sejak kesembuhan Pak Tarno, tetangga belakang rumahnya, Bu Marsih melahirkan anak ke sembilan, anak terakhir keluarga Pak Tarji. Namanya Sindy, adik Vita. Menurut perhitungan, berarti usia Vita sudah lima tahun saat itu. Sindy lahir secara prematur ( belum cukup umur ). Berat badannya pun sangat kecil. Karena kondisi Bu Marsih yang juga belum sehat, pengasuhan Sindy dibantu oleh Neneknya, Mbah Sukra. Mbah Sukra sangat telaten merawat Sindy. Kondisi Bu Marsih masih belum membaik dalam beberapa hari itu, hingga akhirnya, hari Jumat, seminggu sejak kelahiran Sindy, Bu Marsih menghembuskan nafasnya yang terakhir. Singkat cerita, sepeninggal bu Marsih, Sindy kemudian dibawa ke kampung halaman mbah Sukra, untuk diasuh di sana. Sedangkan Vita yang berusia lima tahun tetap tumbuh dan dibesarkan oleh ayahnya, Pak Tarji hingga remaja. 

Seperti anak-anak lainnya, keseharian Vita tak menunjukkan kejanggalan. Kegiatan sekolah dari SD, SMPnya berjalan normal tanpa gangguan. 

Pernah pada suatu ketika, saat Vita duduk di bangku kelas dua sekolah menengah kejuruan, ia datang ke rumah Dini. 

"Mbak Din, mau beli sabun ini? Ini saya dapat tugas dari sekolah untuk menjualnya, " kata Vita menawarkan dagangan dari sekolahnya. 

Dini pun mengambil sebuah sabun. 

"Boleh Vit. Sini mbak beli satu. Berapa harganya? " tanya Dini sambil memberikan selembar uang. 

Vita pun menerimanya. 

"Makasih mbak Din, Vita permisi dulu ya, " pamit Vita sambil berlalu meninggalkan rumah Dini. Dini tersenyum. Dalam batinnya ia memuji kecantikan Vita. Ia berkata dalam hatinya, "Alhamdulillah aku ikut senang, dia bisa bersekolah yang berbasic agama. Semoga menambah kebaikan beragamanya. "

Namun siapa sangka, bahwa ternyata Vita tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga lulus. Pada pertengahan kelas dua SMA itulah dia terpaksa harus berhenti. Dari sinilah misteri keanehan yang dialami Vita dimulai. Apakah sebenarnya yang terjadi pada dirinya? 

( Bersambung ) 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat