Filosofi Sekotak Nasi Berkat

        Pernahkah kalian mendengar ungkapan tentang "Nasi Berkat"? Pada kesempatan kali ini  saya akan sedikit berbagi tentang filosofi sekotak nasi berkat yang pernah saya dapat. Adakah makna dan nilai yang terkandung di dalamnya? 

       Sebagian orang barangkali ada yang tidak atau belum mengenal istilah ini.  Sebetulnya nasi berkat ini masih sering dijumpai, terutama di desa-desa yang masih lekat dengan budaya " kenduri". Iya, nasi berkat adalah istilah nasi yang didapatkan setelah kenduri atau acara slametan, begitu orang Jawa menyebutnya. Sedangkan acara slametan adalah tradisi mengumpulkan orang untuk bersama-sama membaca doa (tahlil) yang dikirimkan untuk arwah para leluhur keluarga yang mengadakan acara tersebut. 

       Kapan acara itu dilaksanakan? Biasanya bersamaan dengan adanya keperluan atau sebuah hajat tertentu sebuah keluarga, meskipun ada juga yang murni acara berkirim doa. Setelah acara itu selesai, pengunjung yang hadir akan diberikan sekotak nasi lengkap dengan sayur dan lauk untuk dibawa pulang. Nah sekotak nasi itulah yang dinamakan dengan nasi berkat. Jadi sudah jelas bukan, mengapa nasi itu disebut dengan nasi berkat? Karena sekotak nasi itu sebelum diberikan kepada yang hadir, terlebih dahulu didahului dengan acara pembacaan doa, dengan harapan nasi ( rejeki ) tersebut juga akan mendapatkan keberkahannya. 

       Lalu apa yang ingin saya sampaikan tentang nasi berkat? Tidak lain dan tidak bukan adalah pengalaman yang menyiratkan filosofi sekotak nasi berkat yang secara tidak langsung digambarkan dan dilakukan oleh Ibu saya.

       Bagi kalian yang pernah mendapatkan nasi berkat, bagaimanakah cara yang dilakukan untuk bisa memakannya? Apakah langsung mengambil secara bebas makanan itu dan memakan apa yang disukai ? 

       Saat kecil dulu, saya sering memperhatikan apa yang dilakukan oleh Ibu usai memperoleh sekotak nasi itu. Sebelum kami makan, Ibu akan selalu membagi seporsi makanan itu menjadi empat bagian terlebih dahulu sesuai jumlah anggota keluargaku, yang terdiri dari ayah, ibu, saya dan seorang adik. Awalnya saya tak begitu memperhatikan mengapa Ibu melakukannya seperti itu. Ternyata baru saya pahami bahwa tak lain tujuannya adalah agar masing-masing bisa merasakan dan mendapatkan bagian yang sama, sehingga kami tak akan merasa iri antara satu dengan yang lainnya. Di sinilah prinsip keadilan yang diterapkan oleh Ibu yang masih saya ingat hingga detik ini. 

       Nah, itulah sekelumit filosofi dan pengalaman yang berhasil saya pelajari dari Ibu. Adakah orang lain juga melakukannya seperti yang dilaksanakan oleh Ibu saya? Ini patut kita junjung tinggi. Meski hanya sepele namun ternyata mengandung makna dan nilai yang sangat tinggi. 

Magelang, 3 September 2021






Komentar

  1. Jadi kangen kampung mbak, dulu sering banget dapet nasi berkat, seneng banget gak sabar nunggu bapak pulang kenduri hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe ... Iya ya Kak, kampung halaman memang selalu bikin kangen

      Hapus
  2. ah, hangat sekali baca line terakhir pas ibu bagi nasi, jadi rindu momen rebutan ayam, eh :D :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe ... Iya ya Kak, berebutan yang menyenangkan.

      Hapus
  3. Akhir-akhir ini sering dapat nasi berkat di musim covid spti ini. Antara seneng dan sedih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe ... Bingung antara pengin makan atau tidak ya Kak?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat