Ibu yang Tak Akan Kembali

        Alya terduduk lemas. Sungguh siang yang menyedihkan. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri. Untuk ketiga kalinya ia harus kehilangan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya tanpa bisa menunggui pada detik-detik akhir kepergiannya. 

       Siang itu sekira jam sebelas siang, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Alya diboncengkan Arman, teman kerja sekantornya. Ia turun, bergegas hendak masuk ke rumahnya. Namun sebelum ia sempat membuka pintu, Reyna, adiknya telah lebih dahulu membuka pintu sambil tergopoh-gopoh berucap," Mbaak ... Ibu ... mbak ... Ibu ... baru saja menutup mata meninggalkan kita, pulang menghadap ke hadirat-Nya." Spontan Alya menghambur masuk ke rumah. Tergugu, tak ayal tangisnya pun pecah sekeras-kerasnya. Sambil menjerit memanggil nama Sang Ibu, Alya menangis sejadinya, menumpahkan rasa dan penyesalannya. Bukan ia tak ikhlas kehilangan sang bunda untuk selamanya tapi ia sangat menyesal atas keterlambatan menemuinya sehingga ia tak sempat menunggui Ibunya menghadapi sakarotul maut. Sedih, sesal, merasa bersalah, itu yang dirasakan Alya siang itu. Penyesalan yang sangat dalam. 

       Para tetangga pun ramai berdatangan ikut menenangkan hati Alya. Namun nasihat itu tak digubrisnya. Ia masih terus menangis sejadi-jadinya. Alya tahu sebenarnya ia tak boleh melakukan itu tapi rasa sesak sangat memenuhi dadanya. Ia tak habis berhenti menyalahkan dirinya sendiri. 

       "Andai saja pagi tadi aku tak memaksakan diri berangkat kerja, pasti aku bisa menunggui Ibu, membantu menalqinkannya untuk menghadap Yang Maha Kuasa. " Alya masih merutuki dirinya sendiri. 

       Sejujurnya pagi itu Alya ingin tak berangkat, karena sudah seminggu Ibunya sakit. Namun mengingat besuknya tanggal merah, maka akhirnya ia paksakan juga berangkat sebentar ke kantor, berencana akan  pulang jam sembilanan. 

       Setelah berbisik berpamitan kepada Sang Ibu, Alya pun berangkat. Kurang lebih satu jam ia sibuk dalam pekerjaannya. Namun jam sembilan lebih Alya belum bisa beranjak meninggalkan pekerjaannya, hingga setengah jam kemudian, telpon berdering. Dari seberang sana terdengar suara adiknya, " Mbak, ini Ibu gimana sepertinya kritis." 

"Baiklah mbak pulang sekarang, " kata Alya seketika. Ia bersiap-siap membereskan meja, pamit kepada atasan. Tanpa kesulitan pun atasan mengijinkan, bahkan Beliau menyarankan agar Alya pulang diantar seorang teman.

       Namun nasi sudah menjadi bubur. Sampai di rumah, ia mendapati Ibunya sudah terlanjur menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Akhirnya Alya pun menyadari, betapa pun kerasnya ia menangis meratapi diri, Ibunya tak akan bisa kembali lagi. Ia hanya bisa pasrah, mengikhlaskan dan mendoakan semoga Ibunya mendapatkan ketenangan menghadap Ilahi, diberikan surga untuk rumah abadinya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat