Resign

Resign. Sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi perlu banyak pertimbangan dan pemikiran yang matang untuk melakukannya. Satu di antara dua pilihan, antara tetap bertahan atau harus keluar dari pekerjaan. Resign bisa jadi sebuah pilihan berat bagi sebagian orang, yang terpaksa harus diputuskan terkait beberapa faktor, baik alasan maupun akibatnya. 

Begitu pula yang terjadi dengan saya. Resign adalah sebuah jalan yang harus saya tempuh, sampai sebanyak tiga kali di tempat yang sama. Tentu banyak yang bertanya apa alasannya dan banyak yang menyayangkan pastinya. Tapi itu memang kemauan saya. Alasan terbesarnya adalah tentu saja alasan keluarga. Alhamdulillahnya, atasan saya begitu baik dan bijaksana, mau dan bisa memahami kondisi dan keinginan saya. 

Resign pertama, alasannya adalah ingin membantu mengurusi usaha suami, sebab sebelumnya, sejak saya tinggal kerja, pengurusannya dibantu oleh adik saya. Berhubung saat itu adik saya akan diboyong suaminya ke luar Pulau Jawa, akhirnya sayalah yang harus kembali membantu menanganinya, mengingat waktu itu keadaan usaha suami sedang tidak memungkinkan untuk mempekerjakan orang lain sebagai asistennya. Namun hanya tiga bulan saya di rumah, akhirnya saya kembali lagi ke tempat kerja. 

Resign kedua, karena saya melahirkan si Bungsu. Saya berniat mengasuhnya sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Enam bulan saya melakukannya, tapi akhirnya harus kembali juga ke tempat kerja atas permintaan atasan. 

Sedangkan resign ketiga adalah saat-saat si Bungsu mendekati usia masuk sekolah. Merasa kurang optimal dengan pengasuhan saat balita karena saya tinggal kerja, saya pun memutuskan untuk menebus kekurangan itu, dengan mengajukan resign kembali, dengan harapan agar bisa membersamai pertumbuhan dan perkembangannya secara maksimal. Terlalu kasihan dan sayang bila masa-masa kecilnya terlewatkan karena perhatian dan pengawasan yang kurang maksimal. Saya merasa belum terlalu terlambat untuk menikmati kesempatan ini, supaya lebih puas dan tidak terlalu menyesal di kemudian hari. 

Memang tampaknya terlalu ringan saya memutuskan untuk resign tapi sejujurnya itu juga pilihan yang sangat berat. Tapi bagaimana pun tekad saya sudah bulat. Membersamai pertumbuhan dan perkembangannya jauh lebih penting bagi saya saat ini. Bagaimana dengan sikap suami? Alhamdulillahnya suami menyerahkan semua keputusan pada saya. Mau gimana, terserah saya. Bahkan sejak awal saya mau bekerja pun, dia selalu menyerahkan bagaimana kemauan saya saja. 

Awalnya, setelah resign, tak dipungkiri tentu akan sedikit khawatir masalah rejeki, tetapi saya tetap yakin, selama kita masih hidup,  pasti masih akan dijamin rejekinya oleh Alloh SWT, jadi tak perlu khawatir yang berlebihan. Tidak bekerja bukan berarti tidak punya rejeki. Yang terpenting, seberapa pun besar kecilnya rejeki tetap harus  kita syukuri. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat