Belajar Ikhlas

"Usia kita sudah semakin tua. Kalau aku sayang kamu, berarti aku harus selamatkan akhiratmu. "
"Dahlah gak usah dipikirkan kata-kata itu. Sudah masanya kita pikirkan alam yang akan datang. Kita tetap bersaudara. "

Kalimat-kalimat itu masih saja terngiang di telinga Dita. Ada pertarungan rasa yang berkecamuk memenuhi dadanya. Antara bersyukur, senang dan juga sedih. Bersyukur karena kalimat yang menyiratkan perpisahan itu menuju kebaikan. Senang karena Fatan masih mau bersaudara. Namun juga sedih karena  berarti antara mereka  harus melepaskan segala rasa yang selama ini telah mereka rangkum bersama. Apa boleh buat. Barangkali memang harus seperti itu kehendak takdir untuk kembali memisahkan mereka, bukan hanya dengan jarak, tetapi juga dengan rasa. Berat? Jelas. Bagi Dita, untuk melupakan dan membuang semua yang telah mereka rangkai tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Dia harus kembali berjuang dan terus berjuang dengan keras. Liku-liku luka dan jatuh bangunnya rasa yang telah dilakoninya memang tak bisa untuk memaksa agar segera bisa move on secepatnya. Semua butuh waktu, butuh proses yang tak begitu mudah dan singkat. Namun Dita bertekad harus bisa. Ia juga tak mau terlalu lama berkubang dalam duka. 

Ia hanya bisa pasrah dan berusaha ikhlas menjalani segala yang sudah menjadi ketentuan-Nya. Air mata telah banyak terkuras dari netranya. Ia hanya sedih mengenang setiap perkataan demi perkataan yang telah diucapkan oleh Fatan. 
Tapi ia juga tak bisa memaksa Fatan untuk tidak meninggalkannya. 

Dita hanya bisa berharap dan berdoa agar Fatan masih sudi menyelipkan doa untuknya pada setiap selesai sholatnya. Semoga kelak mereka bisa kembali berjumpa di Syurga-Nya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat