Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (1) 1 )

Pintu kamar itu masih tetap tertutup rapat. Suara deru kendaraan yang melintas di jalan depan rumah bercat putih itu terdengar bising, apalagi rumah tersebut tepat berada di pinggir jalan, sehingga sekeras apapun ketukan di pintu kamar itu, penghuninya tak bergeming. Ialah Vita, penghuni kamar itu. Gadis manis berusia remaja sekitar tujuh belasan tahun. 

Perawakannya tinggi semampai, rambut hitam lurus sebahu, kulit sawo matang, mata terang. Setidaknya begitulah yang bisa digambarkan terhadap sosok Vita, 

Rumahnya bersebelahan dengan rumah Dini teman sebaya kakak laki- lakinya, Dion. Selain dengan Dion, Vita tinggal serumah dengan Yeni, kakak perempuannya. Mereka bertiga adalah anak dari Pak Tarji dan Bu Marsih. Namun, bu Marsih meninggal dunia, beberapa hari setelah melahirkan Sindi, adik Vita. Sejak itulah Vita menjadi anak piatu. "Vit ... makan dulu sudah siang, " suara Dion, kakaknya mengetuk kamar Vita, salah satu adik perempuannya. Namun tak ada jawaban. 

"Vita ! " sekali lagi ia tak menyahut. 

"Vita, buka pintunya. Keluarlah sudah siang!" Pintu tetap tak dibuka juga, tak sedikit pun ada tanda-tanda Vita akan keluar dari kamarnya. Serta merta Dion meninggalkannya. 

"Barangkali ia lelap tidurnya," pikir Dion. Ia berharap nanti Vita akan keluar sebentar lagi. Dion memang memiliki kasih sayang dan perhatian yang besar kepada adik-adiknya walau tak jarang ia suka bersikap keras. 

Rumah mereka berlantai dua, menghadap ke utara tepat di pinggir jalan, di sebelah barat perempatan besar, searah dengan jalan menuju salah satu tempat wisata di kotanya, kota getuk, kota sejuta bunga. 

Vita adalah anak ke tujuh dari sembilan bersaudara. Keluarga Pak Tarji memang keluarga besar dengan empat orang anak laki-laki, dan lima orang anak perempuan. Meski hanya sebagai seorang wiraswasta yang bekerja di rumahnya, Pak Tarji bisa membiayai kehidupan keluarganya dengan cukup. Dari kesemua anaknya, yang belum menikah tinggallah Vita sama Dion. Sepintas memang tak ada yang terlihat aneh dari Vita.

***

Suatu saat secara basa-basi Dini bertanya kepada Dion, "Eh kapan kamu mau nikah nih, keburu tua " kelakar Dini sambil bercanda. Dion pun menimpali , 

" Belum kepikiran aku. Kasihan Vita nanti gak ada yang ngurus." Dini pun hanya bisa manggut- manggut. Dini memaklumi keadaan Dion, paham dan tahu karena mereka memang bersebelahan rumah. 

Dini geli mengenang masa kecil mereka. Mereka sering main bersama karena memang seumuran. Mereka berempat, Dion, Dini, Yeni dan Yuni, adik Dini. Yeni dan Yuni seumuran juga, tiga tahun lebih muda dari Dion dan Dini. 

Dion juga sering bermain bersama teman-temannya, Heri. Namanya juga anak-anak, tak jarang mereka bermusuhan tetapi mereka akan segera berbaikan kembali setelah beberapa hari.

Suatu sore, Dini sangat ketakutan karena dilempari batu oleh Dion dan Heri tanpa tahu sebabnya. Mereka berdua mengolok-olok Dini dengan ejekan. Merasa tak nyaman dengan ancaman dan ejekan mereka, Dini masuk ke dalam rumah, mencari perlindungan kepada ayahnya. Namun bukannya sikap Dion dan Heri mereda, justru semakin menjadi-jadi. 

Dion pun mengadu ke ibunya, walhasil malah Dini yang dimarahi oleh Bu Marsih. Dini pun hanya bisa diam. 

Mereka juga sering bermain di belakang rumah yang merupakan pekarangan. Lingkungan sekitarnya memang masih banyak yang berupa persawahan. Belum banyak penduduk pendatang seperti sekarang. Kadang-kadang mereka juga bermain sepedaan. 

Suatu ketika, saat Dini belum mahir naik sepeda, ia pernah menabrak pipi Dion yang sedang jongkok di tepi jalan. Spontan Dion kaget, Dini buru-buru minta maaf. Dion pun tidak merah meski harus menahan rasa sakit. 

Satu hal yang tak pernah dilupakan oleh Dini, kebiasaan Dion saat sedang sakit gigi. Ia akan menangis seharian sambil bergulung-gulung di lantai. Semakin ia keras menangis, justru semakin mendapat bentakan dari Bu Marsih, ibunya. 

Mengenang hal itu, Dini hanya senyum-senyum sendiri. Saat mereka ungkap lagi kekonyolan-kekonyolan masa kecil itu, tak urung membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Begitulah, pertemanan mereka masih terjalin tanpa sedikit pun meninggalkan rasa dendam. 

(Bersambung ) 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat