Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (6)

Lelaki itu meletakkan tubuh Vita di balai-balai rumahnya. Di atas dipan yang hanya beralas tikar, Vita dibiarkannya terlelap. Sejenak mengamati tubuh Vita, kemudian ia beranjak meninggalkannya sendirian. Sementara lelaki itu pergi ke ruang tengah, duduk termenung. Ia bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra, entah apa yang dirapalkannya. Segelas air putih ia letakkan di hadapannya. Setelah selesai, ia tiupkan rapal tersebut ke dalamnya. Ia berencana meminumkannya pada Vita usai bangun nanti. 

Vita terbangun kala rasa hangat matahari menerobos dinding kamar melalui celah-celah dinding mengenai tubuhnya. Begitu membuka mata, ia kaget mendapati tubuhnya berada di tempat tersebut. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang membawanya ke sini. Matanya berusaha menyelidik, barangkali ada tanda -tanda yang bisa memberikan jawaban. Namun ia tak mendapati siapa-siapa. 

Ia berusaha bangun. Rasa penat masih terasa menjalari seluruh tubuhnya karena perjalanannya kemarin. 

Tiba-tiba ia mendengar suara kaki yang diseret mendekatinya. Ia menajamkan telinga. Suara kaki itu semakin mendekat. Dan tak lama kemudian muncullah di hadapannya sesosok laki-laki memakai penutup muka. Sepi, mencekam dan serasa menyeramkan. 

Dari mulutnya terdengar sebuah suara besar dan berat "Bangun? "

Vita sedikit takut dan khawatir namun tak urung ia mengangguk. 

"Minum! " tawar lelaki itu sambil menyodorkan segelas air. 

Tanpa berpikir panjang dan bertanya, Vita pun langsung menerimanya karena memang ia merasa sangat haus. Dalam sekejap pun air itu telah tuntas diteguknya. 

Laki-laki itu berkata lagi, "Mandi! " sambil menunjukkan sebuah tempat di belakang rumah. Dengan perasaan was-was Vita mengikuti petunjuk arah tangan si lelaki. Secepat kilat Vita membersihkan tubuhnya lalu kembali ke depan. Ia hanya duduk, tak banyak yang bisa ia lakukan di tempat asing ini. Sebetulnya ia mau bertanya banyak hal kepada lelaki yang tak dikenalnya itu namun tak ada kesempatan karena si lelaki itu buru-buru meninggalkannya seorang diri. Entah apa yang dikerjakannya. 

Satu jam berselang, lelaki ini muncul kembali sambil membawa sepiring singkong. 

"Makan! " kembali lelaki itu memberi perintah. 

Tanpa sedikit pun menolak Vita pun langsung mengambil sepotong demi mengganjal perutnya yang keroncongan. 

Begitulah selalu lelaki itu akan muncul dan pergi hanya dengan sepatah kata, pada saat-saat makan dan mandi. 

Hari pertama dilalui Vita dengan aman meski ada rasa tak nyaman. Sebetulnya ia ingin lolos dari situ namun takut dengan lelaki itu Ia khawatir jika pelariannya nanti justru akan berdampak dirinya dilukai. Akhirnya mau tak mau Vita tetap bertahan tinggal di situ untuk sementara waktu sambil memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa keluar dari tempat itu. 

***

Sementara di rumah Vita, seisi rumah dilanda kepanikan. Mereka tak mengerti hilangnya Vita pergi ke mana. Tak ada yang mengetahui jejaknya. Bertanya kepada para tetangga namun tak ada yang melihatnya. Dion mencoba menyibak beberapa tempat yang diduga bisa menjadi tempat bersembunyinya Vita, akan tetapi nihil, tiada hasil. Pak Tarji bertanya kepada seorang Kyai dan memohon untuk memimpin doa di rumahnya, berharap dengan doa tersebut, Vita bisa kembali pulang dengan selamat, tak terjadi apa-apa. 

Hari pertama berlalu, Vita masih belum kunjung tiba. Mereka terus menduga-duga ke mana kira-kira Vita pergi meninggalkan rumah. Semua sanak saudara sudah dicoba dihubungi namun jawabannya tetap saja sama, tak ada yang mengetahuinya. 

Hari kedua, belum ada perkembangan dan titik terang bahwa Vita akan pulang. Pak Kyai masih memimpin doa di rumah Pak Tarji. Siang itu, Dion berkata kepada ayahnya, "Pak, bagaimana kalau kita lapor ke polisi saja? " 

"Kita tunggu saja dulu sampai besuk pagi. Kita lihat perkembangan hari ini. Kalau memang tak ada titik terang, barulah nanti kita ambil tindakan, " jawab Pak Tarno. 

Sejujurnya mereka sudah tak sabar menunggu kabar dari Vita, akan tetapi mereka masih bertahan untuk tidak melapor ke pihak yang berwajib. Akan tetapi sudah berencana untuk melaporkan jika sekiranya pada hari ketiga Vita belum pulang juga. 

Hari-hari mereka rasakan berjalan sangat lambat. Tak pelak lagi mereka pun sudah begadang selama dua malam. 

***

Saat itu bulan Agustus, pertanda hari ulang tahun kemerdekaan RI sebentar lagi. Weni, anak Dini sudah berusia 1,5 tahun. Sebagai ibu muda, Dini ikut aktif kegiatan di kampungnya menyambut peringatan HUT RI tersebut. Setiap hari Dini sedang melakukan persiapan untuk mempersembahkan panembrama pada acara puncak pentas seni. 

Sore itu, saat Dini sedang sibuk mencatat agenda persiapan untuk kegiatan pentas di balai desa. PakTarno mendekati putrinya. Karena sibuk, Dini setengah mengacuhkan kehadiran ayahnya. Dari sudut matanya, Dini sempat menangkap bahwa Pak Tarno ingin mengutarakan sesuatu namun urung. Ia hanya mengamati putrinya yang tenggelam dalam kesibukan. Pak Tarno pun meninggalkan Dini tanpa sepatah kata pun. 

Keesokan harinya keanehan kembali terjadi. Pak Tarno mulai komat-kamit sendiri, tersenyum dan tertawa. Berlari mengitari desa, tiarap, upacara dan hormat bendera seperti yang dilakukannya beberapa tahun lalu, saat penyakitnya mulai kambuh. Di kepalanya terikat hasduk merah putih. Tangannya mengacung bagai memegang senapan, kemudian digerakkannya ke kanan dan ke kiri sambil bersuara, "Derererererer ... dererererer ... derererererer ... "

Ini dilakukannya secara terus berulang-ulang. 

Lalu ia juga tak segan melepas pakaiannya, telanjang, mengguyuri sekujur badannya dengan air di depan rumah. Rasa malu tak dirasakannya. 

Dini panik. Ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, mengapa penyakit ayahnya kambuh menjelang acara tujuh belasan seperti ini. Ataukah ayahnya memang memiliki jejak trauma masa lalu atas cita-citanya untuk menjadi tentara yang tak kesampaian? Atau benarkah rumor tetangga yang mengatakan bahwa Pak Tarno "tak kuat" saat bertapa di sebuah bukit untuk mencari kesaktian? Inilah yang masih menjadi misteri bagi Dini. 

Seperti biasa, Bu Peni kemudian berniat mencari mbah Jaya, orang yang selalu menjadi rujukan untuk mengobati pak Tarno. Namun ternyata mbah Jaya sudah meninggal. Bu Peni pasrah. Para tetangga menyarankan untuk membawa ke RSJ namun ia tak punya biaya. 

Dalam kebingungannya Bu Peni menyuruh Dini untuk menghubungi Pak Muhtar, adik pak Tarno yang ada di Jawa Timur, minta pendapat dan persetujuannya. Dini pun keluar mencari wartel untuk menghubungi pamannya. 

"Assalaamu 'alaikum, Paman. Ini ayah kambuh lagi sakitnya. Bagaimana jika kita bawa ke RSJ? Apakah Paman bisa bantu?" tanya Dini lewat telepon.

"Wa'alaikum salaam, Din. Jangan dulu. Tunggu Paman akan pulang ke situ."

Dalam waktu singkat Pak Muhtar pun pulang ke asal kampung halamannya dengan membawa "orang pintar", Pak Sastra namanya. 

Orang pintar tersebut meminta sesuatu sebagai "srana".

"Tolong sediakan garam dan carikan daun talas!" 

Tanpa pikir panjang, Dini pun menyiapkan permintaan tersebut. 

Bagi Dini yang awam dengan hal begituan, tak tahu apa tujuannya. Tetapi ada sedikit slentingan itu adalah sebuah cara untuk menghilangkan"cekelan" yang dimiliki ayahnya. Cekelan? Ah apalagi ini? Dini tak paham. Bagi orang-orang kuno, sebuah cekelan itu masih lazim digunakan. Namun Dini tak begitu percaya bahwa ayahnya memakai cekelan itu. Di tengah kecamuk batinnya, Pak Sastra mengisyaratkan bahwa umur Pak Tarno tak akan lama lagi. 

***

Hari ke sepuluh sejak sakitnya, Pak Tarno tumbang. Badannya tampak lemas. Dini berencana membawanya ke rumah sakit, namun ia bersabar menunggu kepulangan suaminya. 

Pak Tarno belum sempat dibawa ke rumah sakit, namun dua hari kemudian, pada suatu malam 

, Zaki suami Dini, baru saja pulang dari tempat kerjanya di luar kota. Pintu baru saja dibukakan, ia pun masuk. Saat Zaki baru saja melangkahkan kaki, terdengar suara lemah dan parau Pak Tarno, "Zak, titip anak istriku. "

Zaki belum sepenuhnya memahami maksud tersebut. Ia pun tak memiliki firasat apa-apa. Akan tetapi ia tetap mengiyakan perkataan Pak Tarno dengan menjawab "Ya Pak", meski dalam hati kecilnya bertanya-tanya, mengapa Pak Tarno mengatakan seperti itu. 

Malam semakin larut. Suara jangkrik menemani malam yang terasa semakin sunyi. 

Tak disangka ternyata malam itu adalah malam Pak Tarno menghembuskan nafas yang terakhir kali. Dini sedih, mendapati ayahnya meninggal dalam keadaan yang belum sepenuhnya sadar dan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Penyebab sakit ayahnya meninggalkan misteri yang tak terjawab hingga kini. 

Sedikit sesal yang dirasakan Dini, mengapa ia hanya mengacuhkan ayahnya saat menghampiri dirinya tempo hari. Adakah yang akan dikatakan oleh ayahnya? 

"Ah, andai saja aku meluangkan sedikit waktu saat itu ... " Dini merasakan sesak di dadanya. Namun takdir sudah menentukan saat kematian ayahnya. Dini harus mengikhlaskannya dengan berdoa, semoga ayahnya diampuni dosanya dan mendapatkan tempat terbaik di syurga. 

***

Bagaimana keadaan Vita selanjutnya? 

( Bersambung ) 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat