Saat Rindu Menyapa

Hujan masih deras mengucurkan airnya. Azan Asar sudah berkumandang. Dita masih menikmati rebahannya. Badannya belum fit benar, setelah hampir dua minggu mreiang menghampirinya. 

Awalnya ia hanya merasakan batuk seperti biasa, namun lama-lama perutnya pun juga ikut terasa sakit. Ia berusaha mengobati dengan obat tradisional. Sejak dulu ia memang tak begitu suka berobat ke dokter kalau memang tidak terpaksa dan butuh penanganan serius. 

Pada saat seperti itu, mendadak ia tadi teringat kepada almarhumah nenek dan ibunya. Dahulu, setiap ia sakit, pastilah nenek atau ibunya akan selalu memijat dengan penuh kasih sayang. Pijatan  yang beda rasanya dengan tukang pijat yang  pernah Dita rasakan. Namun sekarang, pijatan mereka tak bisa ia rasakan lagi, hanya tinggal kenangan yang menyisakan kerinduan teramat dalam, sebab keduanya telah tiada.

Tak dipungkiri memang, bagi Dita, kedua sosok itersebut telah begitu banyak mengukir cerita dalam kehidupannya. Masih kental dalam ingatannya, bagaimana enak dan lezatnya masakan nenek, yang setiap kali ia cicipi. Begitu masakan neneknya matamg, ia akan segera berlari menemui neneknya.

“Masak apa, Nek?” Dan tanpa perlu menunggu jawaban neneknya, ia akan bergegas menyantapnya. Nasi tim yang sangat lemas dan sayur oblok-oblok daun kacang panjang, itu kesukaannya. Begitu pula dengan masakan  ibunya. Meski  hanya berupa oseng terong atau goreng tepung pedas, dadar telur bebek, bihun rebus, nasi goreng putih, semua ini menjadi makanan favoritnya, terasa sangat lezat di lidahnya. Namun kini semua masakan seperti itu tak bisa lagi dinikmatinya. Meskipun ia telah berusaha mencoba memasaknya sendiri, tetap saja rasanya tak bisa sama. 

***

Kala itu, hari Ahad pagi, Dita menyempatkan diri beberes buku-buku di ruang depan. Tak sepertinya asanya, pada hari – hari sebelumnya, hari libur seperti itu akan dilewatinya dengan banyak berbincang dan bercerita apa saja dengan Nenek Inah. Namun pagi itu Dita terlalu asyik dengan kegiatannya, sehingga tak sempat menjenguk neneknya yang berada di rumah bagian belakang. Rumahnya memang satu atap  tapi dibatasi oleh sekat. Ia sibuk memilih dan memilah, memisahkan buku-buku yang masih dipakai dengan yang tidak. Ia berniat menyortir yang sudah tak terpakai. Hingga hari beranjak siang, Dita belum sepatah kata pun menyapa sang Nenek. Saat tersadar, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 ketika tiba-tiba, Nano, teman kecil sekaligus tetangga samping rumahnya berteriak kepadanya, "Dit ... Dit ... Dita! Coba lihat itu Nenekmu jatuh". Bergegas Dita lari menuju ke belakang. Betapa kagetnya Ia ketika didapatinya Sang Nenek sudah tak bisa bergerak. 

“Nek … Nenek … Nenek kenapa Nek?” tanya Dita sambil menggoyangkan tubuh neneknya. Neneknya pun tak menjawab. Dengan sigap Dita pun memanggil Pak Hardi, ayahnya. Beliau segera membopong nenek Inah, untuk dibaringkan ke atas ranjang. Mata nenek Inah terbelalak menatap tak bisa berkedip. Diajak bicara juga tak bisa menjawab. Pandangannya seperti kosong. Tak lama setelah jatuhnya nenek Inah, terdengar azan Maghrib berkumandang. Dita bergegas ke musholla seberang jalan, yang berada tak jauh dari rumahnya. Di sana Dita melaksanakan sholat Maghrib dilanjutkan mengaji yang diajar oleh seorang Ustadz yang masih muda, Alif namanya. Sepulang dari musholla, Dita segera menemui neneknya. Keadaannya masih sama. Di sebelahnya ada ayah Dita, Pak Hardi. Keluarganya memang tergolong orang yang kurang mampu, jadi mereka tak berani untuk membawa nenek Inah ke rumah sakit. Semalam itu tak henti – hentinya mereka menjaga nenek Inah sambil melakukan perawatan sendiri semampunya. Malam itu pula, Pak Hardi berpesan kepada Dita,” Nok, sesuk esuk lungaa menyang Yoja, mbakyumu kabarana ! “

[ “Nok – panggilan orang Jawa kepada anak gadis, besuk pagi pergilah ke Yogya, kabarkan kepada kakakmu ! “].

Keesokan harinya, Dita pun berangkat ke Yogyakarta sesuai perintah ayahnya. guna mengabarkan keadaan nenek Inah kepada kedua cucunya, yang lain, Asri dan Fitri. Yang tak lain kakak sepupu Dita. Maklumlah waktu itu memang belum ada telpon di rumahnya, jadi untuk memberi kabar lewat telepon tidak memungkinkan. Satu – satunya jalan ya harus mendatangi langsung ke tempat yang dituju.

“Dita berangkat dulu ya Pak,” pamit Dita kepada ayahnya sambil mencium tangannya.

“Ya, hati – hati di jalan,” Pak Hardi pun melepas kepergian putrinya. Sebelumnya, Dita juga menyempatkan diri untuk berpamitan kepada neneknya, meskipun tak bisa diajak bicara. Dita berbisik ke telinga neneknya sambil menjabat tangan neneknya. Nenek Inah menggenggam erat tangan Dita hingga sangat sulit untuk dilepaskan. Ia juga menatap tajam ke arah Dita ,seakan akan ada yang mau diucapkannya, melarang  Dita untuk pergi. Akan tetapi akhirnya dengan setengah paksa Dita berhasil melepaskan genggaman erat tangan neneknya dan bergegas berangkat.

Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB. Dita mengenakan baju kesayangannya, setelan blus warna hitam dengan motif polkadot berwarna kuning, bersepatu dengan hak setengah tinggi berwarna coklat, berselempang tas. Rambut panjang setengah ikal ia ikat ekor kuda. Dita sudah berdiri di pinggir perempatan menanti datangnya bis yang akan ia tumpangi. Sendirian, tanpa seorang teman. Seumur hidupnya, itulah kali pertama ia bepergian naik bis sendirian. 

Tak lama kemudian, bis yang ia tunggu pun datang. Ia segera naik dan mencari tempat duduk yang nyaman. Sepagi itu masih bisa dengan bebas mencari tempat duduk sesuka hati karena belum banyak penumpang. Ia memilih duduk di bangku nomer dua samping sebelah kiri, dekat jendela. Ia tak mau mengambil tempat duduk bagian belakang karena ia merasa mudah mabuk.

Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, Dita pun sampai di tempat kakak sepupunya. Ia menuju rumah mbak Asri lebih dulu , sebab yang lebih dekat dibandingkan dengan rumah mbak Fitri. Ia melihat jam tangan Alba berkaleb coklat yang melingkar di tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul 07.30 WIB. Ia sangat gembira. Pengalaman pertamanya naik bis sendirian berjalan dengan lancar tanpa halangan.  Bersyukur ia tak mengalami kesesatan. 

Sampai di sana, Dita mengetuk pintu rumah Mbak Asri.

“Assalamu ‘alaikum,”

Dari dalam rumah, bergegas menjawab salam ,”Wa’alaikum salam. Ee … Dita. Sini masuk. Dengan siapa?”Mbak Asri pun bertanya setelah mengetahui siapa yang datang. Dita pun mengulurkan tangan, lalu duduk setelah dipersilakan. Setelah isirahat sebentar, tanpa basa – basi Ia pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Mbak Asri. 

“Nenek sakit Mbak, kemarin sore jatuh, Kalau bisa, Mbak diminta datang ke sana untuk menjenguk.”

Mbak Asri pun tampak berpikir sebentar, kemudian berkata, “Baiklah nanti Mbak ke sana. 

Sejujurnya ia ingin segera cepat kembali pulang, namun mbak Asri menahan keinginannya. 

“Dit, tunggu ya, nanti kamu pulang bareng saya saja sekalian. Tapi tunggu karena mobil baru di bengkel. Nanti begitu mobil selesai diperbaiki, kita langsung ke rumahmu.” Sebetulnya Dita mau menolak tetapi ia tak kuasa. Akhirnya dengan sedikit berat hati, Dita pun mengikuti keinginan mbak Asri. 

Detik demi detik berlalu. Dita sabar menunggu. Pada keadaan seperti itu ,menunggu adalah hal yang membosankan dan terasa begitu lama. Hatinya tak tenang, serasa ia ingin sekali segera terbang kembali pulang, namun apa daya, ia sudah terlanjur menunggu. Meski lama, ia tetap bertahan, hingga akhirnya jam 11.00 WIB mobil baru jadi. Hatinya sedikit lega ati sekaligus senang karena itu artinya sebentar lagi ia bisa segera pulang. Akan tetapi apa yang diharapkan Dita tak sesuai yang diinginkan karena kenyataannya ia masih harus menunggu mbak Asri dan keluarganya bersiap-siap. 

Beberapa waktu berlalu, semua persiapan pun beres. Mereka menghampiri mbak Fitri yang berada di lain kecamatan. Sampai di rumahnya, tak perlu memakan waktu lama. Menjelang dhuhur, rombongan pun siap menuju Magelang. Sebisa mungkin Dita tetap bersikap tenang meski hatinya penuh kekhawatiran memikirkan neneknya. Dalam perjalanannya ia berdoa dalam hati semoga neneknya baik – baik saja. 

Hampir satu jam perjalanan, mbak Asri dan rombongan sempat mampir ke sebuah toko oleh – oleh. Dita tetap menunggu di dalam mobil, tak berkeinginan untuk ikut turun. Pikirannya hanya satu, ingin segera sampai di rumah kembali.

Bermacam oleh – oleh telah siap, mereka pun melanjutkan perjalanan. Sesekali mereka mengobrol, menanyakan kronologi sakitnya nenek Inah. Mereka tahu, sebetulnya sakitnya nenek sudah bukan yang pertama kali. Mereka sudah terlalu sering mendengar kabar bahwa nenek Inah sakit. Akan tetapi mereka tak mengira kalau sakitnya kali ini lain dari biasanya.

Tak terasa, mobil Citizen warna biru sudah sampai di perempatan jalan raya Maagelang – Semarang, di mana sebuah pabrik karoseri terbesar di kotanya berada. Itu artinya hanya kurang lebih lima belas menit lagi akan sampai di rumah Dita. Lampu sedang menyala merah , mobil berhenti untuk beberapa menit. Lima menit berlalu, terlihat lampu menyala hijau. Pak sopir pun kembali melajukan mobilnya.

Benar, lima belas menit kemudian, mobil sudah sampai di depan jalan tempat rumah Dita berada. Mereka bersyukur, akhirnya sampai juga dengan selamat. Rombongan bersiap – siap hendak turun. Pintu mobil dibuka perlahan. Saat Dita baru saja menginjakkan kakinya turun dari mobil, dari arah depan, Bu  Mirah, berlari tergopoh – gopoh,” Dit, yang sabar ya, nenekmu sudah tiada. baruu saja menghembuskan nafasnya terakhir kali, lima menit yang lalu.” Betapa kaget dan kecewanya hati Dita mengetahui kabar itu. Berlari ia segera mencari keberadaan neneknya. Begitu terkejutnya ia ketika benar – benar mendapati neneknya sudah tak bernyawa. Dengan serta merta ia menangis, menyesali keterlambatan kedatangannya. Ia bergumam dalam hati,”Ah, andai saja aku tadi tak terlalu lama menanti , andai saja aku tadi langsung segera pulang kembali …” Ia tak henti – hentinya menyesali kebodohan dan kesalahannya. Namun apa boleh buat, semuanya sudah terlambat. Ia tak bisa lagi memutar waktu, tak bisa lagi menahan ajal Sang Nenek tercinta.  Iya tak bisa lagi. Ia sadar, takdir telah memanggil neneknya pulang ke pangkuan Ilahi. Ia harus ikhlas. Ia tak ingin neneknya bersedih. Akhirnya ia pun mengusap air matanya, berdoa agar neneknya diberi kelapangan jalan menuju-Nya. Ia sedih, tak akan ada lagi masakan lezat Sang Nenek yang bisa ia cicipi, tak ada lagi canda tawa dan cerita bersamanya. Namun demi rasa sayangnya kepada Sang Nenek, ia tak akan terlarut dalam kesedihan yang terlalu lama agar Neneknya pun tersenyum gembira melihat ketegarannya.

***

Mendadak Dita tersadar, azan sudah selesai dikumandangkan. Ia bergegas bangkit, berniat mengambil air wudlu untuk segera melaksanakan salat Asar. Akan ia selipkan doa untuk Sang Nenek yang sudah lama meninggalkannya. Ya, hanya dengan doa itu ia mengobati rindu yang bersemayam di hatinya.


Magelang, 30 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat