Hanya Ilusi

Malam ini, entah ada apa dengan hatiku. Aku merasa kewalahan membendung buncahan rindu padamu, pada setiap waktu yang mengantarkan detik-detik menuju pertemuan denganmu kala itu. 

Terlalu berat bagiku memikul beban ini seorang diri, tanpa tahu harus bagaimana aku menyimpan ke dalam laci kalbu yang tersembunyi. 

Kunamai engkau dengan candu, padahal racunmu pernah hampir mematikan logikaku, membekukan kewarasan nuraniku. 

Aku tak mengerti mengapa ini bisa terjadi, setelah sekian lama peristiwa itu berlalu. 

Aku sadar, madu yang kaubawa hanyalah manis yang palsu, tapi mengapa tetap saja melumpuhkan kekukuhanku hingga aku pernah sampai pada level sangat tak peduli bahwa sejatinya yang begitu adalah tabu. 

Ya ... aku memang rindu. Rindu pada sosok semu yang aku pernah bermimpi akan menjadi partner jiwaku. 

Barangkali ... terlalu besar rasa yang kuhadirkan, memenuhi seluruh lorong atmaku. Barangkali terlalu dalam aku menghunjamkan rasa di dasar sukma, atau ...barangkali terlalu terkejutnya aku mengeja satu demi satu euforia suratan tangan yang tertunda, hingga sulit untuk melupa atau bahkan memusnahkannya. 

Kau tahu? Apa sebab dari semuanya? Adalah karena manisnya setiap ucapan kata-katamu, walau sejujurnya itu hanya semanis empedu. Pahit, sepahit kopi dan gula tanpa temu. Dingin, sedingin raga tanpa selimut bermotif bunga merah jambu, beraroma kampar pewangi, penggenap halusinasi. 

Di tengah dahagaku kau menjelma menjadi fatamorgana di tengah jalan raya, oasis penyejuk di tengah gurun sahara.  Namun tingginya tirani tetap saja membatasi, karena di dalam sana tetap ada ruang tak bisa tembus cahaya meski aku mengintipnya dengan seksama. 

Pernah aku berlari, meninggalkan gelanggang penuh duri, mundur menjauhkan diri, tetapi pada akhirnya kembali lagi, napak tilas menyusuri jejak-jejak memori yang abadi. 









    


    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat