Jeda Sebuah Rasa

Pelangi, senja dan  hujan pernah indah pada masanya. Namun siang itu, Nina sedang tak berhasrat merangkai aksara, apalagi melengkapi dengan tanda baca, titik dan koma. Semua intonasi rasanya sama saja. Tanda seru dan tanda tanya tak ada bedanya pada pendengaran Nina. Datar, dan tak berjeda. Dialog yang tak perlu diapit tanda kutip. Polos, seakan dibiarkan lepas, bebas. 

Entah siang itu, siang yang ke berapa ia menerima ucapan salam dari Trista. Tak seperti biasa, seusai menjawab salam, Nina diam seribu bahasa, tak mengucapkan lanjutan kata-kata, apalagi bertanya. Hari itu ia sudah betul - betul jengah. Ia hanya ingin menetralisir perasaan yang selama ini sudah begitu dalam menggerogoti hatinya.  Beribu rasa yang pernah bersemayam sebetulnya sama dengan yang dimiliki sebagian besar orang. Sedih, suka, duka, gembira, sakit dan terluka, iri, cemburu, gundah, kecewa, rindu, benci dan cinta. Bukankah setiap orang pernah merasakannya? Bahkan bosan dan hampir putus asa juga? Lantas, apa yang membedakannya? Tidak ... tidak. Ini berbeda. Berbeda karena ternyata semua rasa itu pernah hampir mengacau balaukan keadaannya. Perasaan itu memang sama, tapi tidak dalam meresapinya. 

Nina tak sedang dendam pada Trista. Tidak. Tak dipungkiri bahwa Trista telah memberikan beberapa pelajaran bagi hidupnya, sehingga Nina bisa menjadi lebih terbiasa menerima segala luka dan kecewa atas sikap dan perkataan Trista. Kalau bisa boleh dibilang dewasa, meski Nina masih suka manja. 

Nina hanya sedang membiarkan Trista kelabakan akibat ucapan dan sikap yang telah diberikan kepada Nina. Trista mungkin tak tahu bahwa sejatinya sudah terlalu arogan sikap yang dimilikinya. Tapi apalah daya, Nina sudah tak mau mempedulikannya.  "Cukup sampai di sini, Trista, untuk aku mengerti dan memahami semuanya. Aku sudah tak ingin lagi terluka, kecewa dan berurai air mata. Silakan kamu cari kebebasan dan kesenanganmu sendiri, kepada hati yang masih mau menerimamu. Cukup hanya aku yang tahu bahwa secara tak sadar, kamu telah menghinakanku. Tapi tenang saja. Aku tak lagi akan marah seperti dulu, tak akan lagi menangis atas nama sebuah rasa. Semoga engkau paham itu."

Siang segera beranjak sore. Matahari mulai sedikit mengurangi teriknya. Angin pun samar-samar bergerak menyambangi daun yang nyaris berserakan dipermainkan ayam. Dan Nina? Terdiam menunggu jawaban alam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat