Kunci

Lengang. Itu yang setiap hari didekap Aina.  Asing. Itu pula yang setiap waktu dirasakannya. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk mengelabuhi kesunyiannya. Stagnan. Betul-betul ia sedang berada di dalam fase maju tak hendak, mundur pun tidak. Diam di tempat, tak bergerak. Ia bagai sedang berada pada ruang kosong yang hampa, tanpa udara dan suara. Sesak di dalam, tapi enggan keluar. Riuh sendirian dengan percakapan batin, bercanda dengan jiwa, dan tak lama kemudian berbicara dengan air mata. 

Tidur ibarat mimpi. Mata terpejam namun sukma berkeliaran. Singgah ke beberapa tempat, mengawasi gerak-gerik orang-orang yang pernah atau pun belum sama sekali dijumpai. Ia menjauh dari segala hiruk pikuk perhelatan yang meriuhkan dunia. Menidurkan diri adalah pelarian favourite untuk menimbun rasa, melupakan semua yang telah ia lakukan. Hingar bingar kaum hedon tak lagi menarik perhatian, kesibukan manusia berpamer diri yang wara-wiri tak ia komentari. Membisu dan menuli, lebih tepatnya itu yang sedang ia jalani.

Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkannya. 

"Aina ! Ayolah, maju! Jangan hanya mati kutu seperti itu. Waktu akan terus kian melaju. Kamu tak mau kan terlindas dan membeku? "

"Ah." Hanya itu jawaban yang Aina ucapkan. 

Kembali suara itu menghampirinya. 

"Jangan bodoh Aina! Cukup sampai di sini kau berbuat seperti itu. Bangkit! Jangan sia-siakan waktumu. Aku tahu, kamu bukan type orang yang mudah kalah dan menyerah. Kamu type pejuang, yang apapun harus kaudapatkan hingga gemilang keberhasilan engkau sandang! "

Aina masih tetap bergeming. Meski genderang suara di luar sana terlalu riuh memanggil-manggil, palu keberhasilan bertalu-talu diayunkan bergilir, telinga Aina masih saja tertutup, mulutnya terkatup, hatinya tetap gigil. Bukan ia tak mau berlari ingin meraih sesuatu yang tergantung indah di atap langit, tapi saat ini, ia memang sedang dalam keadaan sungguh-sungguh berhenti, tak berambisi. Bahkan hanya mengeja huruf A saja, ia sedang tak kuasa. 

Tiba - tiba ... 

"Horee ! Aku menemukan sesuatu. Inilah yang kucari selama ini!" teriaknya penuh kegirangan dalam hati. 

"Akhirnya kudapatkan juga kamu hari ini. Kau tahu, telah lama aku mencarimu ke sana ke mari, mengejarmu ke mana pun engkau pergi, namun mengapa baru kali ini kudapati? Ah tapi tak apa. Biarlah. Bukankah waktu yang telah mengajarkanku untuk tetap kokoh berdiri? Tak mengapa jika baru kali ini kutemukan kunci ini. Yang terpenting saat ini aku sudah bisa menggenggammu, erat dan tak kan kubiarkan terlepas, "gumam Aina memungkasi kegamangannya. 

Senyum semringah pun menghiasi wajah mungilnya, wajah yang selama ini berselimut cahaya tanpa warna. 


    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Harap yang Masih Tersemat