Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (2) )

Tegal Sekere, salah satu tempat bermain Dion dan teman-temannya saat masih duduk di bangku sekolah dasar, kecuali Dini, karena Dini memang hampir tak pernah bermain ke luar rumah, apalagi tempatnya agak jauh. Hal ini disebabkan karena ayah Dini agak melarang Dini bermain, kecuali hanya ke rumah Dino. 

Tegal Sekere, sebetulnya adalah nama sebuah kampung yang berada di sebelah selatan tempat Dion dan Dini tinggal. Tempat ini dikelilingi persawahan dan beberapa selokan. Di seberang desa ini terdapat sebuah sungai cukup besar, yang juga di sekitarnya terhampar penuh persawahan. Meski kampung Dion dan tempat ini bersebelahan, namun berbeda kelurahan. 

Waktu itu, sebelum ada air PDAM masuk desa, warga banyak berbondong-bondong pergi ke sana guna keperluan mandi dan mencuci. Di sekitar sungai ada kolam ( blumbang ), karena memang di daerah tersebut tak ada sumur. Kata orang-orang tua, sumur di daerah sekitar situ tak bisa keluar airnya. Andaikata keluar pun sumur harus digali dengan sangat dalam, itu pun airnya keruh. Entah mitos atau fakta penyebabnya adalah karena desa tersebut masih berada tak jauh dari sebuah bukit yang konon merupakan pasak buminya Pulau Jawa. Menurut beberapa cerita yang pernah didengar Dion dan Dini, andai sumur itu keluar airnya maka bisa menyebabkan bencana yang melanda desanya, mungkin banjir.  Maka masyarakat pun tak berani untuk membuat sumur. 

Tegal Sekere ( sebutan waktu itu) konon merupakan salah satu tempat yang dianggap angker. Kadang-kadang ada yang melihat ular namun ketika mau dibunuh tiba-tiba menghilang. Meskipun begitu Dion dan teman-temannya tak takut main di situ. Mereka bermain berkejaran, menyusuri pematang persawahan dan tak jarang mandi di kolam. 

Di sebelah utara kampung Dion, terbentang sebuah ladang yang menghubungkan dusun tetangga. Di tengah ladang terdapat sebuah pohon randu besar yang katanya cukup angker juga. Itu merupakan salah satu jalan pintas yang bisa dilewati Dini jika ingin lebih cepat sampai ke sekolah. Akan tetapi Dini hampir tak pernah melalui jalan itu. Takut, itu yang ada di hatinya. 

Pada suatu hari saat Dini duduk di bangku kelas 6, ia mendapat tugas dari guru kelasnya, Pak Yanto. Sepulang sekolah Dini bilang kepada ayahnya, " Pak, besuk disuruh bawa batang pohon singkong. "

"Untuk apa? " tanya Pak Tarno meminta kejelasan. 

"Buat praktek mencangkok, " Dini memberikan jawaban. 

"Baiklah nanti ayah carikan. "

Sore harinya, Pak Tarno dengan sigap memenuhi permintaan Dini, mencari pohon singkong untuk diambil batangnya. 

Keesokan paginya, ketika Dini siap berangkat ke sekolah terjadi sedikit keanehan yang dirasakan oleh Dini namun ia tak berani mengungkapkannya.  

"Dini pamit berangkat ya Pak, " kata Dini sambil mencium tangan ayahnya. Tak lupa ia bawa potongan stek pohon singkong. Namun ayahnya menyuruhnya hormat dulu dan Pak Tarno mengangkat stek layaknya senjata. Dini pun menurut saja meski sekelumit pertanyaan tersimpan di hatinya. Ayahnya mengantar Dini hingga di perbatasan kampung sambil melambaikan tangannya. Padahal itu tak pernah dilakukan sebelumnya. Sampai di sekolah pun Dini tetap bertanya-tanya ada apa dengan ayahnya hari itu.

Sepulang sekolah, Dini terkejut karena ayahnya berperilaku aneh. Ia tersenyum dan tertawa sendiri. Sapaan Dini tak dihiraukan. Hari berganti hari, tingkah Pak Tarno semakin aneh, kadang tiba-tiba tiarap, hormat layaknya upacara, lari ke sana ke mari mengitari kampung seperti orang sedang berperang, tak jarang tanpa pakaian. Dini sedih sekali. Ia tak tahu apa yang menyebabkan ayahnya seperti itu. 

Bu Peni berusaha bagaimana caranya agar Pak Tarno sembuh dari penyakitnya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah mendatangi rumah "Orang Pintar", Mbah Jaya. Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan Bu Peni dan juga disebabkan tempat tinggalnya masih terbilang "abangan", jadi belum ada kyai atau ulama yang beliau kenal. Untuk membawa ke pengobatan medis, ia tak sanggup karena keterbatasan ekonomi.

Di tengah-tengah usaha pengobatan ayahnya, Dini mendengar cerita-cerita seputar penyebab penyakit ayahnya itu. Ada yang bilang, bisa jadi pak Tarno kemasukan jin sewaktu sering bertapa di sebuah bukit saat mudanya. Dini memang tak mengetahui kebenaran seluk beluk masalah ini. Ia juga sempat mendengar bahwa ayahnya pernah berkeinginan untuk menjadi tentara tetapi urung karena tak direstui Bu Rami, neneknya, Ibu dari Pak Tarno. Entahlah, Dini tak tahu pasti apakah ada hubungannya atau tidak dengan penyakit ayahnya itu. 

Dini hanya sedih tak bisa berbuat apa-apa. Berhari-hari ia hidup dalam ketakutan. Tak jarang ia mengungsi ke rumah bibi yang tak jauh dari rumahnya, untuk menenangkan diri dari kejaran ayahnya. Malam hari, ia tak bisa tidur, berjaga-jaga karena khawatir ayahnya akan melukainya tanpa kendali. Ini bisa saja terjadi karena pemikirannya sedang berada di bawah pengaruh makhluk gaib. Dan hal ini sangat ditakutkan oleh Dini. Keadaan seperti ini berlangsung selama kurang lebih dua minggu. 

Saat itu, Vita baru berusia sekitar dua tahun. Dini tak mengira bahwa Bu Marsih, ibu Vita akan meluncurkan penghinaan terhadap sakit yang diderita ayahnya. Sebagai seorang anak, Dini tentu merasa sakit hati, tak terima dengan penghinaan terhadap ayahnya. Dendamkah Dini pada Bu Marsih? 

 

( Bersambung ) 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat