Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (3)

Dini usai menjalani ujian sekolah yang baru saja dilaksanakan. Itu artinya waktu untuk sejenak mengistirahatkan pikiran setelah berjuang penuh ketegangan. Lagipula pihak sekolah sudah tidak mewajibkan untuk masuk tiap hari, melainkan hanya seminggu sekali untuk berjaga-jaga jika ada pengumuman penting dan untuk menjalin komunikasi. 

Demi menunggu akhir liburan, sambil menunggu pengumuman kelulusan, suatu pagi Dini berniat sepedaan bersama adiknya, Yuni. Sepeda itu adalah sepeda yang sangat diimpikan Dini sejak lama, yang belum lama dibelikan ayahnya. Dengan memboncengkan adiknya, Dini berniat mengitari kampung kelurahan. Naas bagi Dini, sampai di depan balai desa, terdapat gundukan pasir, yang sedikit banyak pasirnya berceceran ke jalanan. Dini melewati jalan tersebut sambil los stang dan tiba-tiba ... Bruuk. 

Dini jatuh bersama adiknya. Badan Dini tertimpa sepeda. 

"Aduuh ... aduuh ...! erang Dini kesakitan. 

Dia berusaha bangkit namun gagal. Ia merasakan kakinya berat dan tak bisa digerakkan. Di tengah kesakitan itu ia lega karena melihat adiknya baik-baik saja, tidak kenapa-kenapa. 

Yuni pun menanyakan keadaan kakaknya. 

" Gimana Kak, bisa bangun kan? "

"Tidak Yun, kakiku sakit. Tolong bantu aku berdiri! "

Dengan serta merta Yuni pun membantu kakaknya untuk berdiri setelah memeriksa keadaan kaki kakaknya. 

"Kita pulang, Kak? " tanya Yuni. 

"Iya, pulang saja. Tapi Yun, aku tak bisa menaiki sepedanya, " kata Dini sedikit bingung. Untunglah sang Adik sudah bisa naik sepeda juga. 

Sampai di rumah, Dini segera tidur merebahkan diri. Ia diam saja belum berani bilang kepada orang tuanya, khawatir malah dimarahi. 

Melihat kejanggalan hari itu karena tak melihat Dini, bu Peni, ibunya menjenguk ke kamar Dini dan bertanya, "Kenapa kamu Din? "

"Kakiku sakit Bu, tadi jatuh di depan balai desa, " terang Dini. 

Bu Peni pun akhirnya bisa memahami dan berusaha mengobatinya. Namun ternyata kaki Dini keseleo, yang menyebabkan bengkak. Kurang lebih sebulan Dini tak bisa berjalan. 

Pak Tarno belum mengetahui keadaan putri pertamanya, karena beberapa hari ini juga sedang sakit. Dini tahu itu, jadi ia memaklumi kalau ayahnya belum "ngaruhke". Sehari setelah jatuhnya Dini, barulah Pak Tarno menengok Dini di kamarnya. Namun Dini merasa aneh. Pak Tarno merespon datar, hanya menatap tanpa ekspresi. Tak seperti biasanya kalau Dini sakit, pasti Beliau akan selalu cemas dan mengkhawatirkannya, buru-buru mengobatinya. Di luar dugaan Dini, ternyata Pak Tarno mulai kambuh lagi penyakitnya, sama seperti sewaktu Dini kelas enam dulu. 

" Ya Alloh, kenapa ayahku seperti ini lagi? "kata Dini dalam hati. 

"Mengapa ini harus terjadi lagi? Selamatkan kami ya Alloh, sembuhkan ayahku!" selarik kalimat doa Dini panjatkan dalam hati. 

Mengetahui keadaan Pak Tarno, tetangga mulai pada ribut, tak henti-hentinya mereka mencemooh penyakit ayahnya, tak terkecuali Bu Marsih. 

" Pak Tarno gila ... pak Tarno gila. kumat lagi. Setidaknya kata-kata seperti itu yang sempat terdengar di telinga Dini. 

***

Siang itu, entah dari mana, Pak Tarno tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Pandangannya kosong. Ia seperti tak mengenali Dini yang berada di hadapannya. Mendadak pak Tarno mengambil air dan mengguyurkannya sendiri ke tubuhnya. Ia lakukan berkali-kali di hadapan putrinya tanpa kesadarannya. 

Dini berusaha menegur dan mengingatkan ayahnya, namun tak berhasil. Pandangan ayahnya menajam ke arah Dini. Dini mulai merasa takut. Tak lama pak Tarno keluar rumah, berlari-lari. Lalu masuk lagi, mencari Bu Rami, nenek Dini. Ternyata pak Tarno membawa pisau. 

Di hadapan Bu Rami, pak Tarno bersimpuh namun tak lama kemudian, ia memegang leher ibunya, seperti ingin menyembelih. Sontak Bu Rami panik. Begitu pula Dini. Ia beranikan diri untuk ngomong. 

"Pak jangan Pak, jangan ... itu nenek. Jangan disakiti. Ingat Pak ... ingat" rengek Dini sambil menahan tangis. Dini berusaha meminta pisau yang dipegang ayahnya. Pak Tarno seperti tak memahami omongan Dini. Ia tetap tak bergeming. Pisau masih dalam pegangan tangannya. 

Sekali lagi Dini bersuara, "Pak, sadarlah Pak, sadar, letakkan pisau itu! " Itu ibunya Bapak, bukan orang lain! " Gemetar yang dirasakan Dini menyaksikan ayahnya seperti itu. 

Pak Tarno tetap belum melepaskan pisaunya. 

Bersamaan dengan itu, muncullah Bu Tarwi, bibi Dini. Akankah Bu Rami berhasil diselamatkan? Ataukah justru Bu Tarwi yang akan menjadi korban? 

( Bersambung ) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat