Vita dan Misteri Tetangga Sebelah (7)

Beberapa hari usai meninggalnya Pak Tarno, seorang gadis tetangga, Puput  kejang-kejang dan berteriak-teriak histeris seperti kesetanan. Matanya membulat merah. Kata orang ia kesurupan. Ibunya menanyakan kepada orang pintar. Berdasarkan jawaban yang diperoleh, Puput terkena sawan orang yang baru saja meninggal. Para tetangga pun berkasak-kusuk. Mereka menduga bahwa sawan yang menghampiri Puput berasal dari Pak Tarno. Salah satu keluarga Puput kemudian minta ijin Bu Peni untuk mengambil tanah bekas tempat memandikan Pak Tarno. Sejujurnya Bu Peni dan anaknya tak rela atas dugaan tersebut akan tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. 

***

Sementara di tempat terasing, Vita sedang berusaha untuk melarikan diri. Ia mencari cara agar bisa segera terbebas dari tempat itu. Meskipun lelaki itu tidak pernah menyakitinya namun tetap saja ia merasa ngeri tinggal di situ. Suasana yang sunyi dan mencekam terasa menyeramkan. Suara derit bambu dan gesekan daun-daun yang tertiup angin menambah ketakutan Vita. Terlebih di dalam gubug itu, Vita juga melihat beberapa benda aneh, seperti keris, tumbak, dupa, dan beberapa macam kembang setaman. Hal tersebut cukup menjadi alasan bahwa tempat itu berbau mistik. Belum lagi saat Vita seperti mendengar ada suara-suara layaknya orang berisik, namun tak kasat mata. Hawa dingin pun menjalar memasuki ruangan itu. Hii ... membuat bulu kuduk Vita berdiri. 

Siang itu, Vita mencermati sekeliling, tak ditemuinya lelaki yang kemarin. Entah sedang pergi ke mana. Perkiraan Vita, barangkali sedang pergi ke sungai.

"Ini kesempatan bagiku," gumam Vita dalam hati. Ia mengendap-endap, mencegah  timbulnya suara. Akan tetapi saat Vita baru saja melangkah, tiba-tiba, 

"Hemmm ..., " suara berat lelaki itu menghentikan langkah Vita. 

Vita melonjak kaget. Jantungnya serasa mau copot. Keringat dingin segera mengucur dari keningnya. Kakinya gemetar. Dari balik penutup wajahnya, lelaki itu menatap tajam ke arah Vita. Vita pun menunduk, tak berani memandangnya. Akhirnya dengan tubuh yang terkulai lemas, Vita pun kembali terduduk. Ia merasa tak bisa lolos hari ini. Ia perlu memikirkan lagi cara dan waktu yang tepat untuk pergi. 

Hari berganti sore, dan malam pun semakin merambat larut. Ia tahan-tahankan matanya agar tidak terpejam. Ia mengamati keadaan. Suara-suara jangkrik kembali menemani. 

Ia beranikan diri mengintip ke sebuah ruangan. Di sana, ia melihat lelaki itu seperti sedang melakukan sebuah ritual. Di sekelilingnya terdapat dupa dan kembang. Bau wangi menguar memenuhi ruangan. Bergidik juga Vita menyaksikannya. Dalam benaknya, ia bertanya,"Apakah gerangan yang sedang dilakukannya? "

Pada saat lelaki dalam konsentrasi semedi itulah Vita kembali memberanikan diri untuk keluar secara sembunyi-sembunyi. Ia mengatur nafas, agar tak ketahuan. 

Pelan sekali dibukanya pintu. Kembali ia mengendap-endap. Sebisa mungkin langkahnya tak menimbulkan suara. Ia  menembus rerumpunan bambu dan pekarangan yang penuh semak belukar, Gelap, tiada penerangan sinar lampu sama sekali. Vita berjalan menggunakan instingnya. Berpacu dengan waktu dan detak jantung, ia  terus berjalan menyusuri sepanjang jalanan malam itu. Kakinya meraba-raba menyibak rerumputan, mencari jalan. Duri dan ranting yang melukai tak ia rasakan. Hampir satu jam, ia berjuang setengah berlari. Meskipun terengah-engah, hatinya merasa sedikit tenang ketika dari kejauhan ia melihat sorot lampu dari beberapa rumah warga. Itu artinya ia sudah sampai di batas kampung, mendekati keramaian. 

Sementara di dalam gubug sana, si lelaki masih terus melakukan ritualnya. Ia tak menyadari kepergian Vita. 

Beberapa lama waktu berselang, lelaki itu baru teringat kepada Vita. Bergegas ia menengok ke depan, namun Vita sudah tak dijumpainya. Ia kecewa. 

Bersamaan dengan itu, di ujung jalan perbatasan kampung, Vita sudah tak kuat menopang tubuhnya. Tiba-tiba ia roboh. Vita pingsan. Kebetulan malam itu ada polisi yang sedang berpatroli. Seorang polisi secara tak sengaja melihat Vita terkapar di jalan. Polisi itu pun menghampiri. Ia bawa Vita ke markasnya untuk memberikan bantuan. 

Ketika Vita tersadar dari pingsannya, ia sudah berada di kantor polisi. Vita mendengar pertanyaan-pertanyaan polisi, namun lidahnya serasa kaku dan kelu, tak bisa menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan itu. 

Dengan cepat berita penemuan Vita pun telah tersebar ke penjuru kampung. Kebetulan salah satu perangkat desa asal tempat tinggal Vita mengetahuinya. Ia mengumumkan kepada warganya dan kabar itu sampailah ke telinga keluarga Pak Tarji. Mereka mengenali foto wajah anaknya, maka ia bergegas menjemput anaknya di kantor polisi. 

*** 

Sekembalinya dari kantor polisi, bukannya Vita mau menceritakan kronologi kejadian yang baru saja menimpanya. namun justru Vita menjadi semakin termenung, diam membisu seribu bahasa. 

Hari demi hari keadaan Vita semakin memburuk. Ia tak mau mandi, tak mau makan, apalagi berhias diri. Rambutnya awul-awulan. Kadang didapati ia juga sering tertawa sendiri, berlari ke sana kemari. Sorot matanya tajam bagai ingin menerkam. 

Pihak keluarga pun berkonsultasi kepada orang pintar. Sesampainya di sana, Pak Tarji disarankan untuk mengadakan acara "ruwatan". Orang pintar yang bernama Pak Surya itu pun bertanya kepada Pak Tarji," Kapan anak sampeyan ini lahir, apakah pada siang, sore atau malam hari? Jam berapa?'

Pak Tarji pun menjawab,"Dia lahir pas matahari terbenam Yai."

"Terus bagaimana keadaan saat lahirnya? Adakah sesuatu hal yang menyulitkan baginya?" tanya Pak Surya lagi.

Pak Tarji seperti mengingat-ingat sesuatu,  dan akhirnya berucap," Oh iya Yai, waktu itu ia lahir dengan posisi lehernya terlilit usus."

"Hmm ...." Pak Surya pun manggut-manggut.

"Begini Pak Tarji, anak sampeyan ini harus diruwat. Ia termasuk anak "sukerta". Vita ini Julung Pujud dan Tiba Sampir. "

Pak Tarji tak begitu mengerti maksud istilah itu. 

"Apakah itu Yai?" tanya pak Tarji kemudian.

"Julung pujud itu adalah anak yang lahir pas matahari terbenam, sedangkan Tiba Sampir itu anak yang waktu lahir lehernya berkalung usus. Anak seperti ini harus diruwat agar terhindar dari musibah, dan supaya terang masa depannya." Pak Surya memberikan penjelasan. 

"Baiklah kalau begitu Yai, akan saya laksanakan. " Ucap Pak Tarji sekaligus minta pamit untuk pulang. 

***

Berdasarkan saran Pak Surya itu akhirnya berembuglah keluarga Pak Tarji hingga hari H untuk acara ruwatan pun tiba. 

Acara digelar dengan mendatangkan dalang yang akan menyampaikan "kandha buwana" pada pertunjukan wayang kulit dengan mengambil lakon Murwakala. 

Acara itu diawali dengan siraman pada jam sembilan pagi. Namun sebelum acara dimulai, semua anggota keluarga harus memakai pakaian adat Jawa, tak terkecuali Vita. Prosesi acara tersebut berlangsung sangat khidmat. Selesai siraman, Vita dibimbing Pak Dalang untuk acara sungkeman kepada kedua orang tuanya. Sungkeman ini dimaksudkan untuk meminta doa kepada orang tuanya agar masa depan kehidupannya terang. 

Usai acara sungkeman, Ki Dalang menampilkan lakon Murwakala, dan di situlah Ki Dalang menyampaikan "Kandha Buwana". Acara diakhiri dengan mencukur rambut Vita, sebagai simbol menghilangkan keburukan yang ada pada dirinya dan musibah yang akan menimpa. Usai cukuran, dilanjutkan dengan acara terakhir yaitu tirakatan.  Para tetangga pun ikut sibuk membantu terlaksananya acara ini. 

***

Beberapa minggu setelah acara ruwatan selesai, Vita mengalami perkembangan. Namun belum sepenuhnya pulih seperti semula. Belakangan baru diketahui bahwa kondisi Vita yang seperti itu disebabkan oleh adanya makhluk halus yang bersemayam di tubuh Vita sejak beberapa tahun lalu, Setelah ditelisik, makhluk gaib itu kemungkinan berasal sewaktu Vita mandi di kolam Tegal Sekere. tempat Dion dan teman-temannya bermain dulu. 

Kala itu, dalam mandinya memang Vita sempat melamun. Ia masih memikirkan kematian ibunya waktu melahirkan Sindy. Ia belum bisa merelakan sepenuhnya. Ditambah lagi tekanan dari sikap ibu tirinya, serta prihatin melihat ketidak rukunan antara Dion dan ibu tirinya. Hal inilah yang menyebabkan Vita sering melamun, sehingga pikirannya kosong. Keadaan seperti ini akan sangat mudah dimasuki oleh roh halus ( jin ) 

***

Demi memulihkan kondisi psikis Vita, keluarga juga berencana untuk membawa Vita ke psikiater di RSJ terdekat. Akan tetapi ketika Vita baru beberapa hari menghuni di sana, tak lama kemudian Bu Isah meninggal. 

Beberapa tahun sepeninggal Bu Isah, pak Tarji pun ikut meninggal, sehingga akhirnya hanya Yeni dan Dion yang mengasuh dan merawatnya. Mereka pun meminta bantuan biaya dari kakak-kakaknya yang lain yang berada di luar kota. Dionlah orang yang paling telaten dan penuh perhatian kepada Vita. Kasih sayang Dion dalam merawat Vita sangat penuh. 

Lambat laun Vita mengalami perkembangan yang menggembirakan. 

***

Vita belum sembuh. Tiba-tiba ... 

Malam itu, terdengar sebuah pengumuman dari menara masjid," Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun .... "

Dion tak berkesempatan untuk menyaksikan kesembuhan Vita.  Takdir telah lebih dulu digariskan  merenggut nyawanya. Penyakit paru-paru dan diabetes yang sudah lama dideritanya menjadi penyebab Ia dipanggil Yang Maha Kuasa. 

( Tamat ) 

NB : Pada perkembangan selanjutnya nama Tegal Sekere berganti menjadi Tegal Arum. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tugasku, Mana Tugasmu?

Kunci

Harap yang Masih Tersemat